OPTIMALISASI TOLERANSI ANTARUMAT BERAGAMA UNTUK MEWUJUDKAN BANGSA INDONESIA YANG MODERAT DI LINGKUP KABUPATEN PONOROGO

Amalia Febrina Dinda Riyanti

FAKULTAS SYARIAH, IAIN PONOROGO

 

Indonesia adalah negara majemuk

Multiras, multietnis, dan multikultural

Perbedaan itu bukanlah hal yang tabu, seharusnya.

-Amalia Febrina Dinda Riyanti-

 

Indonesia merupakan negara hukum yang memiliki wilayah terluas se Asia Tenggara. Luas wilayah Indonesia tersebut juga didukung oleh jumlah penduduk yang menempati urutan terbesar ke empat di dunia, dengan pertumbuhan penduduk 1,49% tiap tahunnya (Devi et al., 2016). Hal tersebut menyebabkan semakin banyak keberagaman dari masyarakat Indonesia. Keberagaman suku, ras, budaya, dan agama terus mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia cukup lama, sejak Indonesia masa prakemerdekaan hingga sekarang pascakemerdekaan. Secara ilmiah, hal tersebut tidak hadir untuk dibeda-bedakan antara satu dengan yang lain, justru perbedaan tersebut dijadikan sebagai perekat dalam keberagaman.

Sebagai sebuah negara yang majemuk, Indonesia memiliki ruang yang cukup bagi potensi munculnya gesekan sebagai akibat perbedaan agama dari individu satu dengan lainnya. Perbedaan-perbedaan tersebut muncul dan mengakar dengan diwariskan, baik secara historis maupun secara kultural (LSAF Universitas Paramadina, 2017: 100). Dalam kehidupan sosial, tidak menutup kemungkinan akan munculnya kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Adanya dua kelompok tersebut, memungkinkan terjadinya perbedaan jumlah penganut agama, yang juga dibarengi dengan adanya perbedaan, baik dari segi ajaran agama, budaya di agama tersebut, dan tempat ibadah yang akhir-akhir ini sedang menjadi problematika di Kabupaten Ponorogo.

Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang saat ini memiliki penduduk sekitar 900 ribu jiwa menurut data pada tahun 2023, di mana penduduk tersebut mayoritas menganut agama Islam, baik itu laki-laki maupun perempuan. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya tempat ibadah umat Islam, yakni masjid dan mushola yang tersebar di seluruh Kabupaten Ponorogo. Hal ini menyebabkan adanya ketimpangan dan kesenjangan bagi kelompok minoritas agama lain, yakni Hindu dan Katolik di Kabupaten Ponorogo.

Ketimpangan dan kesenjangan tersebut akhir-akhir ini menjadi problematika di Kabupaten Ponorogo yang dirasakan oleh ke empat agama tersebut. Salah satu yang cukup menggemparkan wilayah Ponorogo dua tahun lalu adalah kejadian yang dialami oleh umat Hindu. Kejadian tersebut adalah adanya penolakan dari masyarakat setempat terhadap pembangunan tempat ibadah (pura).

Menurut salah satu tokoh agama Hindu yang tinggal di Kecamatan Tonatan, Romo Eka, sapaan akrabnya, beliau mengatakan bahwa adanya penolakan itu terjadi karena beberapa faktor. Pertama, pemerintah menganggap kurangnya komunikasi dengan masyarakat setempat terkait rencana pembangunan tempat ibadah itu. Selain itu, jumlah penganut agama Hindu yang kurang dari minimal, juga menjadi penghalang dalam pembangunan tempat persembahyangan mereka di Kecamatan Jenangan ini sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama pasal 14 ayat 2 (b) yang menyatakan bahwa, “Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3)”.

Merujuk pada bunyi pasal 13 ayat (3) di atas tentu tidak sesuai dengan jumlah penganut agama Hindu di Ponorogo sendiri. Romo Eka menyatakan bahwa jumlah penganut agama Hindu di Kabupaten Ponorogo hanya tercatat sebanyak 53 jiwa. Data tersebut berdasarkan Data Kependudukan Sipil di mana belum dilakukan validasi secara organisasi, dalam artian belum pernah dilakukan pertemuan dalam satu lingkup agama. Tentu hal tersebut masih jauh dari jumlah minimal sebagaimana yang diatur dalam pasal 13 ayat (3) di atas. Seperti halnya umat agama lain, umat Hindu juga berhak untuk mempunyai tempat ibadah sebagai bukti bahwa mereka adalah umat beragama. Beliau menyatakan bahwa terkadang untuk melaksanakan ibadah saja, terutama jika memperingati hari besar harus menempuh perjalanan yang cukup jauh, yaitu di daerah Magetan. Daerah situ lah yang paling dekat yang mempunyai tempat peribadatan umat Hindu.

Menurut beliau, tolak ukur keimanan tidak harus dilihat dari kepemilikan tempat ibadahnya seperti agama-agama lain, akan tetapi hal tersebut dilihat dari bagaimana hatinya dan perlakuannya dalam memanusiakan manusia. Romo Eka di akhir sesi diskusi ini beliau memberikan pesan terhadap para generasi muda bahwa merekalah yang akan menjadi pionir dan benteng untuk terus mendeklarasikan toleransi antarumat beragama dan merawat ideologi bangsa, yaitu Pancasila.

Berbeda dengan agama Katolik yang saat ini sedang tidak mempermasalahkan tempat ibadahnya. Berdasarkan yang disampaikan oleh salah satu tokoh agama Katolik yang tinggal di Desa Klepu, Kecamatan Sooko, Romo Eka, sapaan akrab beliau, beliau menyatakan bahwa masih sekitar 2 (dua) bulan beliau tinggal di Kabupaten Ponorogo yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Menurut beliau, jika berbicara mengenai kerukunan antarumat beragama di Desa Klepu, Kecamatan Sooko, beliau menilai cukup baik. Artinya, tidak ada perbedaan fanatik atau sikap berlebih-lebihan terhadap agamanya sendiri-sendiri, terutama di Desa Klepu, Kecamatan Sooko, di tempat beliau tinggal.

Beliau menyatakan bahwa ada sekitar 12 kelompok keluarga yang menganut agama Katolik di daerah ini. Jumlah penganut agama Katolik di Desa Klepu, Kecamatan Sooko ini terbilang cukup banyak, dan terbukti sudah memenuhi persyaratan minimal yang disahkan oleh PBM pasal 13 ayat (3) di atas. Hal tersebut dibuktikan dengan berdirinya tempat ibadah di Desa Klepu, Kecamatan Sooko, yaitu Gereja Paroki Santo Hillarious. Tidak hanya itu juga, bukti bahwa agama Katolik berkembang baik di Desa Klepu, Kecamatan Sooko ini adalah adanya Goa Maria yang berada di Desa Klepu, Kecamatan Sooko. Goa ini merupakan duplikasi dari Goa Maria yang berada di Kecamatan Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurut beliau, goa ini tidak hanya menjadi tempat ibadah saja, akan tetapi juga menjadi objek wisata religi.

Bukan berarti dengan adanya tempat ibadah seperti Gereja Paroki Santo Hillarious dan Goa Maria tersebut agama ini baik-baik saja. Beliau berkata masih adanya sikap intoleran yang ditunjukkan masyarakat agama lain terhadap agama Katolik ini lingkup Kabupaten Ponorogo. Walaupun beliau tidak menjelaskan secara terang-terangan bagaimana bentuk intoleran tersebut, akan tetapi dari perkataan beliau menunjukkan bahwa secara keseluruhan toleransi yang ada di Kabupaten Ponorogo masih kurang.

Umat Islam sebagai agama mayoritas di Kabupaten Ponorogo sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu tokoh agamanya, yaitu Kyai Sunartip yang tinggal di Kecamatan Jenangan. Beliau adalah salah satu kyai terpandang di Kabupaten Ponorogo. Beliau memiliki Pondok Pesantren yang dinamakan dengan Pondok Pesantren Al-Mutawakkil. Berbicara mengenai toleransi sebagai mayoritas, beliau menyatakan bahwa “Toleransi adalah sebuah kata yang tidak pernah dikenal oleh nenek moyang kita. Namun, ‘toleransi’ itu sudah terpraktikkan secara alamiah oleh individu-individu itu sendiri”. Walaupun Islam sebagai agama mayoritas, tidak menutup kemungkinan tidak adanya konflik. Justru adanya organisasi masyarakat yang saat ini berkembang di Kabupaten Ponorogo dengan aliran yang berbeda, menyebabkan umat Islam tidak baik-baik saja. Mereka terlalu fanatis terhadap aliran yang mereka anut, sehingga mereka lupa bahwa sejatinya mereka tetaplah satu dalam agama Islam.

Berdasarkan problematika-problematika dan fenomena yang disampaikan 3 (tiga) tokoh agama tersebut, dapat ditarik persamaan yaitu tentang toleransi, khususnya adalah di Kabupaten Ponorogo. Menurut Abu Bakar (2015: 123) toleransi merupakan suatu perilaku manusia, di mana seseorang dapat menghargai dan menghormati terhadap perilaku orang lain. Pada faktanya berdasarkan pemaparan dari ketiga tokoh agama tersebut, di Kabupaten Ponorogo sendiri belum memenuhi definisi toleransi secara baik dan menyeluruh.

Terdapat beberapa sikap yang dapat memengaruhi munculnya sikap tersebut, yaitu sikap eksklusif dan sikap inklusif (Moh. Abdul Kholiq Hasan, 2013: 70). Sikap eksklusif adalah sesuatu yang mencerminkan sikap ibadah dan akidah masing-masing agama. Adapun sikap inklusif adalah sesuatu yang mencerminkan sikap sosial, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pertama, sikap eksklusif. Setiap agama memiliki ajaran agama dan budaya yang berbeda-beda, serta memiliki kekhususan tersendiri yang tidak dimiliki oleh agama lain dan tidak dapat dicampuradukkan dengan agama lain. Ketika hal-hal tersebut dicampuradukkan, tidak menutup kemungkinan akan menjadikan tertolaknya ibadah dan akidah masing-masing agama tersebut. Tidak hanya menyebabkan tertolaknya ibadah dan akidah. Namun, juga dapat menghilangkan eksistensi agama itu sendiri, sehingga akan memengaruhi keharmonisan antarumat beragama yang dapat melahirkan kondisi sosial kemasyarakatan yang tidak sehat. Seseorang yang memiliki sikap ini akan merasa bahwa dirinyalah dan agama yang ia anut adalah yang paling benar atau dengan kata lain adalah fanatisme.

Perspektif seperti di atas tidak dapat disalahkan. Hal itu dikarenakan adanya dorongan intrinsik dari agamanya yang melandasi pandangan seperti ini. Kebenaran agama yang diyakini oleh penganutnya merupakan keharusan karena berkaitan dengan komitmen beragamanya. Jika perspektif fanatisme tersebut diikuti dengan ekstrem, tentu akan mengakibatkan buruknya tatanan kehidupan sosial, bahkan akan menguburkan makna agama itu sendiri.

Kedua, sikap inklusif. Sikap ini akan melahirkan sikap menghargai dan menghormati keberadaan umat agama lain, karena dalam ajaran agama masing-masing, mengakui dan menghargai keberadaan umat agama lain adalah suatu kebenaran. Sikap ini selalu dilandasi dengan pemberian kesempatan terhadap umat agama lain untuk bebas dalam menjalankan ibadah dan ritual keagamaannya. Ketika mengakui akan adanya keberadaan umat agama lain, seorang inklusif tidak akan pernah kehilangan jati dirinya sebagai seseorang yang membela dan menaati ajaran agamanya. Justru dia akan menunjukkan identitas agamanya sebagai pelaksanaan nilai luhur agamanya sendiri dengan tetap memegang teguh prinsip universal agamanya.

Intoleran muncul karena adanya fanatisme yang berlebihan terhadap agamanya sendiri. Hal itulah yang harus dihapus dalam perjalanan menuju Indonesia yang moderat di tengah beragamnya umat beragama di Indonesia. Moderasi diambil dari kata ‘moderat’ yang merupakan kata sifat, yang berasal dari kata moderation, yang bermakna tidak berlebih-lebihan, sedang, atau pertengahan (Mhd. Abror, 2020: 144). Dalam konsep pemahaman teologis, moderat seringkali diasosiasikan dengan konsep “tidak-tidak”, tidak ke barat atau ke timur, tidak ekstrim kanan atau ekstrim kiri, tidak literalis, dan tidak liberalis (Masdar Hilmy, 2012: 264). Moderat dalam hal ini sebagai umat beragama tentu harus memiliki sikap seimbang, adil, tengah-tengah, dan toleransi. Dalam hal ini, toleransilah yang harus ditekankan pertama kali, sebelum ketiga prinsip di atas, yaitu seimbang, adil, dan tengah-tengah.

Toleransi antarumat beragama merupakan hal hal yang dinamis dan harus diterapkan dari waktu ke waktu. Hal tersebut dilandasi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan dan saling ketergantungan satu dengan yang lain. Belajar dari petunjuk Al-Qur’an, ada beberapa pilar-pilar yang harus ditegakkan oleh semua pengikut agama di Indonesia (Moh. Abdul Kholiq Hasan, 2013: 73).

Pertama, kedewasaan umat dalam beragama. Kedewasaan ini sangat dibutuhkan terutama dalam isu-isu agama. Dengan kedewasaan beragama diharapkan tidak mudah terprovokasi dengan berbagai isu yang mengadu domba antarpemeluk agama. Sebagai contoh adalah kasus penolakan pembangunan tempat ibadah umat Hindu. Hendaknya meneguhkan prinsip kedewasaan, tidak parsial, tidak mudah terpancing, dan tidak menjadi kaum yang ikut-ikutan kelompok lain. Dalam hal ini, peran pemuda dan pemerintah sangat dibutuhkan, seharusnya pemerintah tidak menentang pendirian tempat ibadah ini, justru seharusnya membantu menyelesaikan pembangunannya.

Kedua, membangun dialog interaktif antarumat beragama. Dialog antarumat beragama ini sangat perlu untuk dilakukan mengingat akan adanya kesamaan atau perbedaan yang tidak dapat disingkirkan dari hakikatnya sebagai manusia. Adanya kesamaan nilai-nilai serta permasalahan dan kebutuhan yang universal, yang berkaitan dengan kemanusiaan, seperti kebenaran, keadilan, persaudaraan, dan cinta kasih. Selain itu, adanya fakta kehidupan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain, pasti membutuhkan kerja sama dengan prinsip keadilan, sebagaimana saling percaya satu dengan lainnya. Adanya dialog interaktif ini diharapkan dapat memupuk kerukunan dan toleransi antarumat beragama, terutama untuk mengatasi kasus yang menerpa umat agama Katolik.

Sebagai generasi muda, hendaknya mulai menanamkan sikap moderat, terutama toleransi antarumat beragama, karena kaum mudalah yang saat ini menjadi bibit-bibit kemajuan bangsa, bagaimana bangsa kedepannya berada di genggamannya. Hal itu bisa dimulai dari keluarga, sahabat, lingkungan, tempat menempuh pendidikan, bahkan nantinya berada di lingkup bangsa. Akan tetapi, memaknai toleransi tidak boleh hanya kulitnya saja, pahami hingga akar-akarnya. Jika memahaminya melalui kulit saja adalah kurang, dan bahkan bisa menimbulkan pemaknaan yang tidak seharusnya.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abror, Mhd.. Moderasi Beragama dalam Bingkai Toleransi: Kajian Islam dan Keberagaman. Jurnal Pemikiran Islam. Vol. 1 Nomor 2, Desember 2020.

Bakar, Abu. Konsep Toleransi dan Kebebasan Beragama. Jurnal UINSUSKA. Vol. 7 Nomor 2, Juli-Desember 2015.

Devi, S. ,Fatchiya, A., dan Susanto, D. Kapasitas Kader dalam Penyuluhan Keluarga Berencana. Kota Palembang, Provinsi Sumatra Selatan. Jurnal Penyuluhan. Vol. 12 Nomor 2, 2016.

Hasan, M. A. K.. Merajut Kerukunan dalam Keberagaman Agama di Indonesia (Perspektif Nilai-nilai Al-Qur’an). Jurnal Studi Islam. Vol. 14 Nomor 1, Juni 2013.

Hilmy, Masdar. Menimbang Kembali Modernisme Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.  Jurnal UINSA. Vol. XXXVI Nomor 2, Juli 2012.

Kuncoroningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia. LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) Universitas Paramadina Mulya Jakarta.Menegakkan Pluralisme: Fundamentalis-Konservatif di tubuh Muhammadiyah.Ar-Ruzz Media. Yogyakarta, 2017. Cet ke-2.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top